Pages

Saturday, January 31, 2009

Middle Class and their lifestyles


Walaupun lahir dan tinggal di Indonesia selama 22 tahun lebih, tapi ternyata masih banyak hal tentang Indonesia yang belum saya kenal. Banyak juga tentang hal-hal kecil yang mungkin tidak akan saya sadari kalau saya tidak datang dan tinggal di negara lain, karena mungkin sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang ada di negara itu, dan kita baru sadar akan perbedaannya ketika kita sudah tidak tinggal di situ lagi.
Saya juga selalu antusias ingin tahu bagaimana pandangan orang asing atau negara lain terhadap Indonesia. Ada kalanya terkadang mereka tahu lebih detail tentang negara kita jauh daripada orang Indonesia asli. (ya mungkin karena pekerjaan mereka sebagai peneliti). Ada sebuah buku yang mengupas tentang pertumbuhan middle class atau consumerism di berbagai negara di Asia, salah satunya Indonesia. Inti dari tulisannya kalau saya mencoba menyimpulkan dalam satu kata orang Indonesia itu GENGSIAN!

Saya cuma mau mencoba mengupas langsung dari sisi sosialnya. Kita tahu bahwa kelompok atau "membership" besar peranannya di negara ini. Batas "status/golongan" kita di masyarakat (apa kamu kelas atas, tengah atau bawah), bukan lagi dilihat dari pendapatan, tapi lebih ke arah "social behaviour" dan "lifestyles". Oleh karena itu, mungkin gampangnya "Statusmu=apa yang kamu konsumsi, bagaimana kamu bertindak" (pendapat saya). Karena ingin terlihat sebagai agen dari masyarakat modern, terlihat berbeda, mereka mengkonsumsi banyak gaya hidup yang mungkin sebenarnya mereka tidak mampu untuk hidup dengan gaya hidup seperti itu. (besar pasak daripada tiang...?).
Yang pada akhirnya menuntut mereka untuk mencari penghasilan tambahan seperti "korupsi...yeah!!!".Kelas di masyarakat bagaikan memiliki simbol, dan untuk dicap menjadi bagian dari kelas itu, ada semacam "pressure" untuk mengkonsumsi simbol itu. Intinya gengsi...

" ...even before1997 crisis, only a small portion of the indonesian new middle class was able to afford a western or urbanised lifestyle. .....they might be educated and employed in jobs that provided social prestige, but they could not afford a lifestyle that would be regarded as suitable for their status. Thus, they engaged in substational activities to give their lives a middle class 'touch'.............For example one can see young people and families spending hours sitting in strategic places, ...at McDonald's or Pizza Hut drinking Coke, burger......They would take the empty hamburger bags with them, as they left the fast food restaurant, so that everybody in the street could see where they had lunch or dinner.....students would share one Benetton sweater with others, and borrow jewellery from roomates to go shopping or hang around...."


Tapi itu mungkin sudah jauh berubah, karena itu kebiasaan di zaman saya SMU, hahahahaha....

Satu hal lagi yang dibahas oleh penulis, bagaimana tentang nilai pendidikan sebagai salah satu bagian dari lifestyles...intinya bagaimana pendidikan di Indonesia sudah bukan lagi tentang transfer pengetahuan, menemukan dan memahami arti ilmu itu dalam arti sebenarnya dan seharusnya, tapi lebih ke arah target mengejar gelar dan nama dari institusi pendidikan. (lihat saja, berapa banyak sarjana yang lulus dengan hasil "beli skripsi", nyogok sono sini....yang salah siapa ya...guru ato murid?????)

Pendidikan dari luar, terutama dari negara barat, seakan banyak ditemukan di negara kita, tapi bagaimana pendidikan itu tidak diolah, disesuaikan dengan kebutuhan lokal, tapi ditransfer apa adanya, jadi bagaikan mengimport bentuk dari sistem pendidikan itu sendiri tanpa menyerap arti dan sari dari bagian pendidikan itu sendiri.

Pada intinya....saya setuju. Karena saya merasakan batunya sekarang. Bagaimana kita kurang dididik untuk berpikir sendiri, tapi lebih kearah menerima, menerima dan melaksanakan.


Sumber: "Global Lifestyles under Local Conditions" - by Solvay Gerke, in Consumption in Asia.2000

1 comments:

+> v i εїз said...

jen.. itu buku ato journal?
I am interested to read the whole Indo part