Tadi ketemu bekas temen 1 kantor. Rasanya lama banget ga ketemu, walopun sering banget ejek2an di Facebook. Di antara sekian banyak ceritanya ada 1 cerita yang jadi bikin gw berpikir (berpikir pikirrr muluuuu deehhh).
Alkisah, ada seorang pria, yang konon merupakan salah satu staff pengajar di universitas negeri nomor 1 di Indonesia (dulu sih nomor 1, sekarang nomor 1 ato ga ga tau...yg top poko'e). Terus, 15 tahun lalu dia datang ke Jepang. Detailnya bagaimana gw juga kurang jelas. Yang pasti di Jepang dia juga mengenyam S2 di univ. negeri no 1 di Jepang. Dan berhubung dia pengajar universitas, dia juga lanjut program S3, tapi sepertinya berhenti. Kemudian, karena dia menikah dengan wanita Jepang yang tidak mau tinggal di Indonesia, makanya dia pun "memilih" tinggal di sini. Lengkapnya bagaimana juga kurang tahu, poko'nya sekarang dia kerja di sebuah perusahaan(bekas perusahaan gw) yang gw tau banget busuk-busuknya, setelah sebelumnya dia juga pernah kerja di tempat lain juga.
Di perjalanan pulang, gw mikir-mikir lagi tentang kisah si bapak itu. Terus sampailah di beberapa point berikut ini:
1. Bagi sebagian besar orang umum, termasuk gw, pasti heran, menyayangkan, rasanya pengen banget bilang "eman-eman(sayang)kok malah masuk perush itu" " kok malah kerjanya begitu", apalagi yang tahu bagaimana busuknya perush itu, rasanya ga terima kok orang dengan academic background bagus masuk di perush yang tidak ada karier sama sekali, dan rasialis ke orang asing dlm cara halus.
2. Bagi beberapa orang lagi, pasti mikir...mmm...seperti yang diperkirakan banyak orang, zaman resesi, memang orang susah kerja. Masih untung dia dapet kerja, yang penting halal.
3. Bagi beberapa orang..."hmmm itulah namanya cinta!" demi keluarga dia rela tetap di Jepang, yang mungkin tidak memberinya jalan yang gampang dalam hal karier untuk dia, apalagi bila dibandingkan di negara asalnya........
4. Dan bagi beberapa orang lagi, mirip dengan pendapat nomor 2, mungkin akan berpikir salut!!! Dia tidak peduli dengan apa kata orang, atau background pendidikan, kalau memang itu pilihan dia (karena sebelumnya dia juga bekerja di bidang yang sama dengan yang sekarang, tapi jauh banget dari academic background dia), so what?! tidak ada yang salah, malah itu lebih baik, daripada tidak sama sekali.
Kemudian gw berpikir kalau kisah dia semacam refleksi diri (gw dan kita semua) juga, bahwa selama ini mungkin gw terlalu tinggi pride nya. Berpikir tidak pantas melakukan hal ini, atau hal itu. Tapi ternyata banyak yang lebih bertalenta dari kita juga mau melakukan hal-hal sederhana yang kita tolak. Itu semuanya pilihan, dan tentang bagaimana kita melihatnya.
Atau mungkin kita juga bisa ambil kesimpulan, karena sudah berkeluarga, ada beban mau tidak mau, dan terpaksa... maka itu alternatif yang harus dijalanin. Dengan kata lain, dalam keadaan terpaksa segala macam tindakan (yg mgkin diluar akal rasional) bisa terjadi......
Sekedar pemikiranku saja hari ini.... Gut Nite!!!